banner 728x250
Opini

Ketika Akal Duduk, Iman Memimpin: Mengingat Batas Rasio dalam Beragama

31
×

Ketika Akal Duduk, Iman Memimpin: Mengingat Batas Rasio dalam Beragama

Sebarkan artikel ini

Oleh: Taufiq Hidayat

Akal adalah anugerah besar dari Allah. Dengannya manusia berpikir, menimbang, dan membedakan yang benar dari yang keliru. Namun akal bukan Tuhan. Ketika akal ditempatkan sebagai penentu tunggal kebenaran, sementara wahyu disisihkan, saat itulah manusia tidak sedang berpikir, melainkan mengultuskan rasio.

KH. Ahmad Dahlan pernah mengingatkan bahwa agama tidak cukup hanya dibaca, tetapi harus dipahami dan diamalkan dengan penuh kesadaran. Baginya, akal berfungsi untuk menjemput kebenaran wahyu, bukan untuk menghakiminya. Inilah fondasi tajdid Muhammadiyah: berpikir maju, namun tetap tunduk pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Tidaklah pantas bagi laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, masih ada pilihan lain bagi mereka tentang urusan itu.”
(QS. Al-Ahzab: 36)

Ayat ini menegaskan satu prinsip penting: iman menuntun akal, bukan sebaliknya. Akal bekerja untuk memahami hikmah syariat, bukan untuk menyeleksi mana wahyu yang sesuai selera rasional manusia.

Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menegaskan:

“Islam berkemajuan adalah Islam yang memadukan wahyu dengan akal, iman dengan ilmu, dan kesalehan pribadi dengan tanggung jawab sosial.”

Kutipan ini menolak dua ekstrem sekaligus iman yang anti-ilmu dan akal yang kehilangan ketundukan. Muhammadiyah sejak awal berdiri tidak pernah memusuhi rasionalitas, tetapi juga tidak membiarkan rasionalitas berdiri tanpa nilai ilahiah.

Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا وَإِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah, aku telah diberi Al-Qur’an dan yang semisal dengannya (Sunnah).”
(HR. Abu Dawud)

Hadis ini menjadi koreksi bagi mereka yang mengaku rasional, tetapi menolak Sunnah. Mengaku berpikir kritis, namun memotong sumber ajaran, bukanlah kemajuan berpikir, melainkan reduksi iman yang dibungkus logika.

Allah juga mengingatkan:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?”
(QS. Al-Jatsiyah: 23)

Hari ini, hawa nafsu itu sering bernama lain akal absolut. Ketika rasio menjadi hakim tertinggi, sementara wahyu diposisikan sebagai bahan diskusi semata, maka yang lahir bukan pencerahan, tetapi penyimpangan yang tampak intelektual.

Muhammadiyah mengajarkan jalan tengah akal sebagai alat, iman sebagai kompas. Akal tanpa iman akan tersesat, iman tanpa akal akan stagnan. Keduanya harus berjalan seiring, dengan wahyu sebagai rujukan utama.

Di era digital, kita tidak kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan orang yang tunduk pada kebenaran. Dan ketundukan itulah esensi iman. Bukan mematikan akal, melainkan menempatkannya secara benar: pelayan wahyu, bukan penentu kebenaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *