Opini

Guru: Pengabdi Mulia atau Pekerja yang Terlupakan?

52
Oleh: Annas fitrah Akbar, Founder Biuus.com & Pemuda.co.id

Pernyataan viral Menteri Agama Nasaruddin Umar, “Kalau niatnya hanya untuk mencari uang, jangan jadi guru,” menuai beragam tanggapan dari masyarakat. Di satu sisi, pernyataan ini menggarisbawahi kemuliaan profesi guru. Namun di sisi lain, banyak yang menganggap ucapan tersebut menyakitkan bagi para guru, terutama mereka yang masih menghadapi kondisi ekonomi yang sulit. Bagaimana seharusnya kita memahami kontroversi ini?

Melalui pendekatan Analisis Wacana Kritis (AWK) ala Teun A. van Dijk (1997, 2001), pidato Menag bukan sekadar ungkapan normatif, melainkan mencerminkan ideologi, struktur kekuasaan, dan realitas sosial pendidikan di Indonesia.

Guru Sebagai Jalan Pengabdian Spiritual

Dalam pidatonya pada 3 September 2025 di UIN Syarif Hidayatullah, Menag menekankan bahwa profesi guru adalah jalan pengabdian lebih dari sekadar mencari nafkah, melainkan sebagai ladang amal jariyah. Ungkapan ini membawa muatan religius yang kuat, mengaitkan profesi guru dengan nilai-nilai spiritual.

Menurut Van Dijk (1997), ini merupakan bagian dari strategi semantic moves, yaitu upaya untuk menonjolkan sisi positif tertentu agar wacana diterima publik. Dengan menempatkan guru dalam kerangka amal dan pahala, Menag mencoba membangun citra simbolik yang luhur terhadap profesi guru.

Realitas Sosial: Masih Banyak Guru yang Terpinggirkan

Namun idealisasi tersebut berbenturan dengan kondisi faktual. Ribuan guru di Indonesia, terutama guru honorer, masih bergulat dengan gaji yang tidak mencukupi. Meskipun pemerintah telah meningkatkan tunjangan profesi dari Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta dan mengangkat puluhan ribu guru honorer menjadi ASN PPPK (Detik, 2025), problem kesejahteraan tetap menjadi isu krusial.

Banyak guru menilai pernyataan Menag sebagai bentuk pembiaran atas penderitaan ekonomi yang mereka alami. Mengutip Paulo Freire (1970), sistem pendidikan berpotensi memperkuat ketidakadilan sosial jika guru terus diposisikan sebagai pihak yang hanya dituntut untuk mengabdi, tanpa jaminan hak-hak yang layak sebagai pekerja.

Dimensi Kekuasaan dalam Wacana Menag

Pidato Menag juga mencerminkan relasi kuasa, di mana seorang pejabat publik merasa berwenang mendefinisikan sosok “guru ideal” sebagai pribadi yang ikhlas, tidak mengejar materi, dan total dalam pengabdian. Dalam perspektif AWK, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk penutupan terhadap masalah struktural yang sebenarnya: bahwa para guru memiliki hak atas kehidupan yang layak.

Konsep naturalization of discourse dari Norman Fairclough (1995) relevan di sini. Ia menjelaskan bagaimana bahasa pejabat dapat menormalkan kondisi sosial tertentu—dalam hal ini, seolah-olah menjadi guru memang sepatutnya identik dengan pengorbanan tanpa banyak menuntut materi.

Menemukan Titik Tengah: Panggilan Jiwa dan Hak Pekerja

Seharusnya, pidato Menag menjadi momen untuk menegaskan dua prinsip utama:

  1. Guru adalah profesi mulia. Motivasi spiritual dan niat pengabdian memang penting dan patut dihargai.
  2. Namun guru juga adalah pekerja. Mereka berhak mendapatkan gaji, tunjangan, dan fasilitas yang memadai demi menunjang tugas mereka.

Dengan demikian, narasi religius tentang guru sebagai ladang amal jariyah harus diimbangi dengan langkah konkret seperti percepatan pengangkatan guru honorer, pemerataan tunjangan, serta perbaikan sarana pendidikan.

Wacana yang dibentuk melalui pidato Menag menunjukkan bahwa bahasa memiliki kekuatan dalam membentuk persepsi sosial. Apa yang dikatakan bukan hanya soal retorika, tetapi berkaitan langsung dengan legitimasi kebijakan dan masa depan para pendidik di Indonesia.

Guru adalah panggilan hati, namun mereka juga manusia biasa yang berhak atas kehidupan yang layak. Menjaga keseimbangan antara idealisme pengabdian dan realitas kebutuhan adalah fondasi dari kebijakan pendidikan yang berkeadilan.

Exit mobile version