banner 728x250
Berita

Selamat Ginting: Hoaks di Medsos Bisa Guncang Stabilitas Negara

47
×

Selamat Ginting: Hoaks di Medsos Bisa Guncang Stabilitas Negara

Sebarkan artikel ini

Jakarta – Pengamat militer Selamat Ginting mengingatkan pentingnya kewaspadaan pemerintah dan masyarakat terhadap potensi perpecahan yang bisa dipicu melalui media sosial. Ia menyampaikan bahwa tanpa penerapan etika komunikasi, ruang digital bisa menjadi alat penyebaran disinformasi yang merusak persatuan bangsa.

“Jika tidak dibarengi etika, dunia digital bisa menjadi alat adu domba. Menjaga komunikasi di ruang publik sama krusialnya dengan mempertahankan keamanan negara,” ujar Ginting dalam diskusi publik bertajuk “Bahaya Disinformasi Influencer Bagi Persatuan Bangsa”, di Jakarta, Kamis (18/9/25).

Ia menyoroti, momentum satu tahun pemerintahan baru pada September – Oktober 2025 harus dilihat sebagai fase rawan yang kemudian bisa dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengguncang stabilitas negara.

“Pemerintah juga harus responsif terkait usulan penguatan keamanan nasional agar tidak mengalami situasi serupa dengan Nepal”, tegasnya.

Ginting juga mendorong pembentukan satuan tugas respon digital yang khusus menangani ancaman di dunia maya.

“Satgas tidak hanya berfungsi menangkal hoaks, tetapi juga menumbuhkan literasi digital agar masyarakat mampu mengenali informasi palsu”, pungkasnya.

Lebih lanjut, dengan pengalaman tiga dekade sebagai jurnalis politik dan pertahanan, Ginting menilai akademisi dapat mengambil peran penting dalam memperkuat komunikasi publik.

“Komunikasi publik yang tidak efektif kerap kali menimbulkan persepsi yang salah di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya bisa berdampak negatif pada stabilitas nasional,” tambahnya.

Sebagai contoh, Ia menyinggung kasus yang sempat viral di media sosial mengenai seorang mayor TNI. Menurutnya, kasus itu memperlihatkan betapa informasi yang belum diverifikasi bisa sangat cepat menyebar dan memicu spekulasi.

“Berita yang belum divalidasi bukanlah produk jurnalistik. Inilah yang seharusnya jadi pelajaran kolektif agar publik lebih kritis,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *